Tertullianus

Vincentius Agsuko Wiguna

 

Semen est sanguis Christianorum“ (Darah orang-orang Kristiani adalah benih). Ungkapan tersebut mungkin terdengar tidak asing bagi umat Katolik. Tertullianus-lah yang mengatakan demikian. Kala itu, Gereja menghadapi penganiayaan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh rezim-rezim totaliter. Tertullianus mengatakannya dalam karyanya yang terkenal, yakni Apologeticus.

Quintus Septimius Florens Tertullianus adalah nama lengkap dari Tertullianus. Ia dilahirkan sekitar tahun 155 M di Kartago. Orang tuanya merupakan penganut paganisme dan mendapatkan pendidikan yang bermutu dalam hal retorika, filsafat, hukum dan sejarah. Lalu, Ia mengalami pertobatan pada tahun 193 M.

Semasa pertobatannya, Tertullianus menetap di Kartago dan memutuskan untuk menjadi imam meski dirinya tidak pernah mengakui status klerikalnya. Namun demikian, Ia diingat oleh karena pengaruhnya yang kuat dan tajam pada sisi pembelaan iman (apologetik). Ia juga dikenal sebagai sosok pribadi yang keras dan individualis dalam upanya mencari kebenaran. Akibatnya, ia semakin menjauhkan diri dari persatuan dengan Gereja dan menganut sekte Montanis. Walaupun demikian, beberapa karyanya memengaruhi perkembangan teologi Kristiani. Tanggal kematian Tertullianus memang tidak diketahui dengan pasti, namun ada perkiraan bahwa ia meninggal sekitar tahun 220 M.

Tertullianus adalah sastrawan gerejawi yang terpenting pada masa itu berkat usaha apologetiknya. Ia berbicara dengan menggunakan hatinya dalam menanggapi segala tuduhan yang menyerang agama Katolik. Maka dari itu, Tertullianus mengatakan bahwa tidak boleh ada keraguan bagi mereka yang mau mati demi imannya. Itulah yang menjadikan dasar yang kuat bagi kemartiran dan suatu tindakan misioner.

Kekhasan karya-karyanya adalah bahasa penulisan. Tertullianus menggunakan bahasa Latin dalam beberapa karyanya, contohnya, Ad Nationes, Apologeticum, dsb. Dari hal tersebut, banyak istilah baru yang telah diangkat oleh teologi Kristiani sebagai perbendaharaan di dalam dogma-dogma Gereja. Sebagai contoh, ada istilah satu “substantia” dan tiga “persona” ketika menjelaskan dogma tentang Tritunggal yang mahakudus. Atas dasar ini, Tertullianus mendapat julukan “Pencipta bahasa Latin Gerejawi”. 

Paus Benediktus XVI, dalam suatu Audiensi Umum, merefleksikan bahwa Tertullianus merupakan pribadi yang kuat (heroik) tatkala berhadapan dengan berbagai tuduhan terhadap iman Kristiani. Karena itu, Tertullianus cenderung tidak segan-segan untuk melayangkan suatu kritikan yang tajam. Walaupun demikian, Paus Benediktus XVI juga melihat sisi lemah Tertullianus berkaitan dengan kesederhanaan dan kerendahan hati. Kesederhanaan dan kerendahan hati ini diperlukan bagi seorang teolog untuk tetap setia kepada Gereja dengan bercermin dari Tertullianus yang kurang setia dan meninggalkan imannya.

 

Daftar Pustaka

“Tertullianhttps://www.newadvent.org/cathen/14520c.htm.   diunduh pada 03 Agustus 2020, Pk. 17.16 WIB.

Konferensi Waligereja Indonesia, Katekismus Gereja Katolik, diterjemahkan oleh P. Herman Embuiru, SVD berdasarkan edisi Jerman,  Ende: Nusa Indah.

Paus Benedictus XVI, Bapa-Bapa Gereja: Hidup, Ajaran, dan Relevansi bagi Manusia di Zaman Ini, (judul asli: “The Fathers”), diterjemahkan oleh Waskito SJ,  Malang: Dioma, 2010.

Quasten, Johannnes, Patrology: Volume II, Notre Dame: Christian Classics, 1955.